TANTANGAN PESANTREN DALAM KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DI TENGAH GLOBALISASI
Sabtu, 23 November 2013 on Label: KOMERSIALISASI PENDIDIKAN, TANTANGAN PESANTREN DALAM KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DI TENGAH GLOBALISASI
Sholehuddin
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jalan Ir. Juanda Ciputat Jakarta
Email: sholeh_din@yahoo.co.id
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Dalam dunia pendidikan termasuk di pesantren, pengaruh gelombang globalisasi yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas juga begitu terasa. Pada
era ini tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan pesantren mendapat tantangan serius,
karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mengeruk keuntungan sebagaimana disebutkan di atas. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebagai strategi untuk
eksistensi manusia yang telah direproduksi selama berabad-abad ini, diganti oleh
suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi,9
yang pada gilirannya menjadikan pendidikan sebagai komoditas perekonomian. Pada kondisi ini pendidikan
yang laik akan menjadi barang mahal, yang tidak semua orang mampu menjangkaunya.
Pandangan seperti ini secara langsung maupun tidak langsung merambah ke
dunia pesantren. Dalam hal ini, perlu dicermati apakah pesantren memiliki kecenderungan menjadikan pendidikan sebagai komoditi. Secara historis, pesantren tumbuh
dan berkembang di tengah masyarakat dan berbaur dengan masyarakat itu sendiri.
Pesantren hidup dalam tradisi kesederhanaan, karena itu biaya pendidikan di pesantren relatif terjangkau oleh lapisan bawah sekalipun. Mahmud Arif menyebutkan
beberapa kelebihan yang dimiliki pesantren di antaranya yaitu pertama, sistem pemondokan yang memungkinkan pendidik (kyai) melakukan tuntutan dan pengawasan secara langsung kepada santri. Kedua, keakraban (hubungan personal) antara
santri dengan kyai dan antara santri dengan santri yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup. Ketiga, kemampuan pesantren mencetak lulusan
yang memiliki kemandirian. Keempat, kesederhanaan pola hidup. Kelima, biaya pendidikan murah.10
TANTANGAN KE DEPAN
Sejak dahulu, pendidikan merupakan wahana terpenting bagi masyarakat, bahkan pesantren yang keberadannya di tengah-tengah masyarakat justru sering menjadi
sentral kegiatan masyarakat baik sebagai wahana transformasi kebudayaan, sosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, maupun sebagai wahana transformasi ilmu
pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu bagi masyarakat, pendidikan merupakan
elemen penting yang keberadaannya mengindikasikan keberadaan masyarakat itu
sendiri.
Sejak zaman dahulu atau sekitar tahun 900-an Sebelum Masehi ketika pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan tidak pernah diarahkan untuk
dirinya sendiri, akan tetapi pendidikan selalu dijadikan sebagai alat, terutama alat
bagi manusia untuk menjaga eksistensinya.
Dalam konteks ini, pendidikan dapat menjadi alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat penanaman ideologi tertentu, alat untuk meningkatkan pekerjaan, alat investasi, alat meningkatkan
kesadaran untuk hidup bersama, alat untuk menciptakan keadilan sosial, alat untuk
melanggengakan kekuasaan, alat untuk mendominasi kelompok tertentu dan lain sebagainya.
Sebagai alat, pendidikan diabdikan pada suatu atau beberapa tujuan yang hendak dicapai yang di dalamnya terkandung visi dan misi. Di sinilah terjadi perebutan
pengaruh dari berbagai kekuatan lengkap dengan ideologinya masing-masing, yang
tidak jarang mengorbankan proses dan tujuan sosial pendidikan itu sendiri. Pada
kondisi ini kekuatan politik dan ekonomi memegang peranan penting. Politik dengan
kekuatan kekuasaannya akan terus memaksakan pendidikan sebagai ajang perebutan
pengaruh dan untuk mendominasi kelompok-kelompok tertentu, begitu pun dengan
ekonomi, dengan kekuatan modalnya, pendidikan dijadikan ajang bisnis untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga terjadilah apa yang disebut komersialisasi pendidikan.
Pada kondisi ini pendidikan diletakkan sebagai komoditi yang pada akhirnya
akan menjadi barang mahal, yang hanya dapat dijangkau oleh kelompok-kelompok
tertentu saja, sedangkan masyarakat secara lebih besar tidak mampu menikmati kemajuan pendidikan karena keterbatasan ekonomi mereka. Ini yang patut menjadi
renungan bersama, di mana saat ini terdapat kecenderungan pendidikan menjadi
“barang mahal”yang hanya dapat diakses oleh kelompok-kelompok kaya “the have”.
Inilah yang harus dijawab oleh dunia pesantren agar mampu memberikan pelayanan
pendidikan kepada masyarakat dari berbagai kalangan.
Dengan komoditisasi tersebut, akibatnya terjadi ketidakmerataan pendidikan di
kalangan masyarakat, pendek kata terdapat ketimpangan pelayanan pendidikan.
Pendidikan hanya mampu dijangkau oleh suatu kelompok yang secara ekonomi diuntungkan (mapan) oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Sementara bagi mereka
yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi tidak akan mampu atau
katakanlah sulit menjangkau pendidikan, lebih khusus lagi pendidikan yang bermutu. Hal ini berarti, bagi mereka yang memiliki uang dan mampu membayarnya,
maka ia akan memperoleh pelayanan dan mutu pendidikan yang maksimal, sementara yang tidak mampu, maka ia akan menikmati pendidikan seadanya, bahkan tidak
jarang mereka tidak mampu mengakses pendidikan sama sekali. Pendidikan yang
telah sekian lama menjadi usaha kolektif manusia untuk mempertahankan eksistensi
dan budayanya, saat ini telah mengalami pergeseran orientasi, visi, misi dan ideologi
yang berakibat pada ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
munculnya tayangan-tayangan “pendidikan gratis”harus betul-betul diwujudkan,
sehingga mimpi-mimpi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu tidak
hanya terpelihara, melainkan lebih dari itu, yakni dapat terwujud dan dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Pada kasus ini hakekat pendidikan yakni sebagai suatu strategi kebudayaan
manusia untuk mempertahankan eksistensi dan budayanya telah telah dirontokkan
oleh sistem ekonomi yang lebih menekankan pada aspek permodalan yang telah
melahirkan kelas-kelas di masyarakat. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalis
tik telah membuat praktek pendidikan justru melanggengkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial. Untuk itu apa yang dilakukan pesantren dengan kemampuannya
mengakomodasi dari berbagai kelompok masyarakat pada dasarnya merupakan
upaya untuk mencegah agar pendidikan tidak sampai berakibat menjadikan manusia
terdidik menjadi eklusivistik, elitis karena kedudukannya sebagai kelas terpelajar.
Dalam kaitannya dengan globalisasi yang menghadirkan sejumlah peluang positif untuk hidup lebih mudah, nyaman, murah, indah dan maju; juga dapat menghadirkan peluang negatif sekaligus, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan dan
penyesatan. Globalisai bekerja selama 24 jam dengan menawarkan banyak pilihan
dan kebebasan yang bersifat pribadi. Pendek kata dewasa ini telah terjadi banjir pilihan dan banjir peluang. Terserah kemampuan seseorang untuk memilihnya. U.
Thant, mantan Sekjen PBB pada tahun 1970-an, mengatakan bahwa saat ini sumber
daya tidak lagi membatasi keputusan, akan tetapi keputusanlah yang menciptakan
sumber daya.11
Dalam perspektif pendidikan, mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang menghasilkan lulusan yang mampu memilih tanpa kehilangan peluang dan jati dirinya. Karena kecenderungan globalisasi tersebut merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari, oleh karena itu banyak gagasan dalam menghadapi globalisasi ini yang menekankan perlunya berpikir dan berwawasan
global namun harus tetap menyesuaikan keputusan dan tindakan dengan kenyataan
nyata di depannya. Muchtar Buchori sebagaimana yang dikutip Umar Tirtaraharja
dan S. L. La Sulo, berpendapat “think globally but act locally”. Untuk latar Indonesia
yang menganut semboyan Bhineka Tunggal Ika, hal itu tidak hanya mempertimbangkan aspek nasional tetapi juga aspek lokal di daerah yang bersangkutan.12
Dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sebagai
akibat dari gelombang globalisasi, maka sebenarnya hal ini merupakan peluang bagi
pendidikan di pesantren untuk mengembangkan dirinya secara lebih baik dan merata. Paling tidak, dengan persediaan dan pengembangan teknologi pembelajaran yang
tiada henti akan lebih memacu kualitas pembelajaran yang berbasiskan teknologi
agar semakin ditingkatkan.
Dalam hal pemerataan pendidikan, dengan pesatnya perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi paling tidak mampu menyelenggarakan pendidikan di
daerah-daerah terpencil, misalnya dengan model pendidikan jarak jauh. Hal ini merupakan peluang untuk lebih meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan di
Indonesia. Sehingga diharapkan terjadi peningkatan baik dari segi kualitas maupun
kuantitas peserta didik yang mengikuti pendidikan.
Di sinilah kemampuan dan ketajaman strategi manusia-manusia pendidikan
Indonesia diuji. Oleh karena itu diperlukan suatu pengembangan strategi baru dalam
menghadapi gelombang globaliasasi ini. Dalam menyikapi gelombang globalisasi
yang semakin pesat, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization) menyikapinya dengan mengukuhkan kembali beberapa rekomendasi
pada Oktober 1994 di Jenewa, yang tertuang dalam dokumen UNESCO, Integrated
Framework of Action on Education for Peace, Human Right and Democracy, yaitu:13
1. Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada di dalam kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat
dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomuni-kasi, berbagi
dan bekerjasama dengan yang lain.
2. Pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan
dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan
dan solidaritas antara pribadi-pribadi dan masyarakat.
3. Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan penyelesaian konflik secara
damai tanpa kekerasan. Oleh karena itu maka pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri dan pikiran peserta didik, sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas
toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
4. Pendidikan hendaknya menanamkan perasaan solidaritas dan kesamaan pada peringkat nasional dan internasional, dalam perspektif pembangunan yang seimbang
dan lestari.
Keempat rekomendasi UNESCO tersebut merupakan strategi pendidikan dalam menghadapi pesatnya gelombang globaliasasi. Akan tetapi yang tidak kalah
pentingnya, yakni strategi penguatan internal institusi lembaga pendidikan termasuk
pesantren yang meliputi:
1. Penguatan institusi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Di sini reformasi pendidikan perlu mengembangkan sejumlah kebijakan makro maupun mikro
dalam rencana jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.14
2. Penataan manajemen mulai dari perencanaan hingga evaluasi, yang tidak hanya
berorientasi pada mutu hasil melainkan juga pada mutu proses pelaksanaan.
Sebagaimana diketahui aspek manajemen ini sering menjadi kelemahan pesantren.
3. Pengembangan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, tanpa SDM yang
unggul maka akan sulit bahkan mustahil dapat meningkatkan pendidikan yang
mampu survive dan bersaing dengan perkembangan global.
4. Kemampuan beradaptasi dengan pergaulan global atau internasional, ini tentunya
membutuhkan pengetahuan, wawasan global dan kemampuan berkomunikasi serta kemampuan berbahasa.
Pada akhirnya strategi ini akan sangat tergantung pada kuatnya kemauan dan
kemampuan manusia-manusia pendidikan Indonesia untuk memanfaatkan peluangpeluang yang tersedia di era globaliasasi ini. Dalam konteks ini, pesantren telah terbukti mampu menampilkan diri sebagai institusi yang tetap eksis dalam menghadapi
segala bentuk dinamika perubahan sosial dengan dua karakter utama budaya pendidikannya yaitu:15
1. Karakter budaya yang memungkinkan santri belajar secara tuntas, tidak hanya
terbatas pada transfer ilmu-ilmu pengetahuan, akan tetapi juga aspek pembentukan kepribadian secara menyeluruh
2. Kuatnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu sangatlah wajar sekiranya pesantren kemudian banyak dirujuk, paling tidak pada awal masa pasca kemerdekaan,
untuk dijadikan sebagai acuan alternatif dalam menghadapi kebuntuan upaya merumuskan sistem perguruan nasional yang tidak tercerabut dari akar historis
ke-Indonesiaan dan juga tidak berkurang efisiensi dan efektifitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar