Tujuan pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan
teks-teks dan penjelasan-penjelasan agama, tetapi juga untuk
meningkatkan moral, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap jujur dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan
bersih hati. Santri dididik untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama serta mampu mengamalkannya di dalam masyarakat.
Tujuan
pendidikan pesantren bukanlah untuk mengerjakan kepentingan kekuasaan,
uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa
belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Diantara cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat
berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu
kepada orang lain kecuali kepada Allah SWT.
Dari rumusan tujuan tersebut, tampak jelas bahwa pendidikan pesantren
sangat menekankan pentingnya tegaknya Islam di tengah-tengah kehidupan
sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci keberhasilan hidup
bermasyarakat. Agama menurut WM Dixon (1996) diyakini sebagai dasar yang
paling kuat bagi pembentukan moral, dan apabila penghargaan kepada
ajaran agama merosot, maka sulit mencari penggantinya.
Pesantren sebagai Lembaga Keagamaan
Pesantren berfungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama
Islam. Hal ini dapat kita ketahui pada sejarah berdirinya
pesantren-pesantren pada generasi awal dengan tujuannya yang tinggi dan
mulia.
Pesantren dalam hal ini, akhirnya berperan ganda, yakni pesantren
terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur
usaha, yaitu usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk
memindahkan pola kehidupan ala Rasulullah SAW dan pewaris Nabi ke dalam
kehidupan pesantren. Unsur selanjutnya adalah, disiplin sosial yang
ketat di pesantren, yaitu kesetiaan tunggal kepada pesantren untuk
mendapatkan topangan moril dari kyai untuk kehidupan pribadinya.
Dalam proses perkembangannya, pesantren masih tetap disebut sebagai
suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan ilmu agama
Islam. Dengan segala dinamikanya, pesantren dipandang sebagai lembaga
yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan
dakwah Islam, seperti tercermin dari berbagai pengaruh pesantren
terhadap perubahan dan pengembangan individu, sampai pada pengaruhnya
terhadap politik diantara para pengasuhnya dan pemerintah.
Hal tersebut bisa dilihat tidak saja pesantren pada posisi dewasa
ini, tetapi bisa dilihat posisi pesantren pada zaman dahulu sebelum
Belanda datang di Indonesia. Secara pedagogis, pesantren lebih dikenal
sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga yang di dalamnya terdapat
proses belajar mengajar ilmu agama Islam dan lembaga yang dipergunakan
untuk penyebaran agama Islam. Dalam proses belajar mengajar dalam
pesantren diajarkan bahwa Islam adalah agama yang mengatur bukan saja
amalan-amalan peribadatan, apalagi sekedar hubungan orang dengan
Tuhannya, melainkan juga perilakunya dalam hubungan dengan manusia di
dunia.
Pesantren dan Tantangan Modernisasi
Modernisasi yang dalam bentuk umum Indonesia lebih dikenal dengan istilah "pembangunan" (development) adalah
proses multi dimensional yang komplek. Modernisasi paling awal dari
sistem pendidikan di Indonesia harus diakui tidak bersumber dari
kalangan kaum muslim sendiri. Kemunculan modernisasi pendidikan Islam di
Indonesia berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisme Islam di
kawasan ini. Dalam lapangan pendidikan, modernisasi setidaknya dapat
dilihat dengan direalisasikannya pembentukan lembaga-lembaga pendidikan
modern yang mengadopsi dari system dan kelembagaan kolonial Belanda,
bukan dari system pendidikan Islam tradisional.
Diskripsi di atas setidaknya sedikit menjelaskan bagaimana respon
pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya,
khususnya yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat sekelilingnya
seiring perkembangan zaman. Dalam menghadapi berbagai perubahan itu,
eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan
kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam
sepenuhnya, tetapi sebaliknya, cenderung mempertahankan kebijaksanaan
sehari-hari (cautious policy) mereka menerima pembaharuan
(modernisasi) pendidikan Islam hanya dalam skala sangat terbatas,
sebatas mampu menjamin pesantren tetap survive.
Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.
Kalau kita cermati lebih mendalam, kemunculan modernisasi pendidikan
bukan tanpa dampak. Untuk itu, pesantren yang menerima modernisasi harus
benar-benar selektif dalam menerima dan mengadopsi pola-pola dari luar.
Namun demikian, pesantren tidak harus menutup diri, ia harus terbuka
dalam mengikuti tuntutan perkembangan zaman. Materi pendidikan
pesantren, metode yang dikembangkan serta manajemen yang diterapkan
harus senantiasa mengacu pada relevansi kemasyarakatan dan trend
perubahan.
Oleh karena itu, agar posisi pesantren tidak menjadi stagnan, dengan kata lain "la yahya wa la yamuut", maka
yang harus dilakukan oleh lembaga pesantren sebagai lembaga pendidikan
adalah dengan menumbuhkan rasa kesadaran dalam mengantisipasi ke depan
dengan melakukan inovasi dan pengembangan pesantren. Langkah yang dapat
ditempuh adalah dengan memposisikan pesantren sebagai "penjawab" atas
tuntutan masyarakat, tuntutan lingkungan, tuntutan zaman dan lain
sebagainya, atau dengan kata lain perlu adanya hubungan simbiotik antara
pesantren, masyarakat dan lingkungannya sebagai bagian terpenting dari
dunia pesantren. Dengan demikian pesantren akan semakin eksis dalam
mengantisipasi perubahan sosial dan bahkan berperan mengarahkan
perubahan yang terjadi seiring dengan menggelindingnya era modernisasi
dan globalisasi.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa inovasi pendidikan pesantren
dalam memenuhi tuntutan masyarakat dan lingkungannya serta perubahan
zaman perlu dilakukan secara cepat dan terarah. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, Sudirman Taba, seorang peneliti pesantren mengemukakan
bahwa; Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan, dakwah dan
sosial dirasakan oleh banyak pihak memiliki potensi yang besar untuk
memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan dan pengembangan
masyarakat. Kedua, jumlah pesantren potensial, terbukti telah
melaksanakan usaha kreatif yang bersifat rintisan. Ketiga, Usaha ini
perlu dikembangkan sambil terus melakukan upaya pembenahan terhadap
masalah utama yang dihadapi pesantren, baik yang bersifat internal
maupun eksternal.
* Penulis adalah Dosen IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar